Tuesday, October 16, 2012

Surat Dua Puluh Empat Karat


             Melarat seumur hidup jelas tidak termasuk hal yang akan kau gembar-gemborkan dengan bangga pada orang lain. Tidak pula bagi pasangan renta ini. Tubuh keduanya ringkih luar biasa, mencemaskan bagi siapa saja yang melihat. Doyong kesana kemari ibarat pintu yang akan bercerai dari engselnya. Serupa pohon lapuk yang siap tumbang kapan saja, meski hanya karena satu pijakan dari seekor kumbang kurang kerjaan di dahannya.

             Kerapuhan yang tampak bukan semata-mata karena keduanya memang telah digerogoti usia. Persoalannya jauh lebih menyedihkan daripada itu. Setiap kerutan di wajah, kulit terbakar, dan tubuh membungkuk tak lebih dari sekedar korban. Korban atas peperangan sengit melawan kemiskinan. Pergulatan melepaskan diri dari cengkeraman kemelaratan selama bertahun-tahun. Pasangan renta ini menghabiskan nyaris sepanjang usianya untuk melompat-lompat, mencoba melewati garis kemiskinan. Namun, sang kemiskinan yang menyebalkan tak terkira ini ternyata begitu setia. Membuntuti kapan saja, mengekori tiap langkahnya. Hingga tiba saat untuk menyerah kalah. Toh, lama kelamaan kesulitan menimbulkan perasaan biasa. Maka mereka berdamai dengan sang kemiskinan yang seolah senantiasa berteriak terima-saja-aku-tanpa-banyak-cingcong. Akhirnya, hidup terjalin bersama. Akrab bagai karib lama.
            Hari-hari selalu dilalui dengan rutinitas yang tak pernah berubah. Tak ada istilah menjemukan meski semua telah berlangsung sejak mereka muda. Dan karena keduanya bahkan sulit untuk mengingat berapa persisnya umur mereka, jelas itu sudah terlampau lama. Kini tak ada lagi keinginan. Tidak ada yang mereka pinta meski sejujurnya rongsokan dalam rumah pun hanya ada satu-dua. Yang jelas, hidup bagi keduanya bermakna sekedar bertahan untuk hari ini dan anugerah bila esok hari mereka terbangun dengan nyawa masih bercokol di tempatnya. Pandangan menyedihkan seperti itu praktis membuat tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu. Karena itu tak heran, kehidupan hanya seputar mengais rezeki secukupnya dan satu-satunya hiburan hanyalah menonton tetangga sebelah terbirit dikejar lintah darat.
            Di suatu senja berkabut dengan hawa dingin yang menggelisahkan, kakek tua terseok-seok pulang ke rumah. Selayaknya biasa, ia akan membuka pintu dengan tak sabar dan duduk menemani istrinya sembari mengoceh tentang apa saja.
            ”Kata orang-orang, ada maling yang sedang berkeliaran, Bu”
            Sang istri menatap hampa. Tangannya mengaduk-ngaduk isi panci dengan gesit hingga menimbulkan bunyi berisik layaknya musik kaleng rombeng. Kakek tua mengendus ingin tahu ke dalam panci. Di balik asap yang mengepul, tampak sesuatu berwarna hijau. Barangkali itu sayuran. Atau sejenis tanaman liar. Atau lumut. Tapi ia yakin, sang istri tak akan meracuninya. Maka ia diam saja. Kepala kakek tua menoleh ke arah dipan yang sekaligus berfungsi sebagai meja makan mereka. Hanya ada sepiring nasi dan sejumput garam. Sudah biasa. Maka ia diam saja.
            Pernyataannya tadi tak mendapat reaksi apa-apa.
            Hanya ada dua kemungkinan untuk itu. Kemungkinan pertama, istrinya tak menangkap apa yang ia ucapkan barusan. Imbas dari gangguan pendengaran yang telah diperolehnya beberapa tahun belakangan ini. Karena itu, kakek tua menggeser posisi duduknya, lebih mendekat.
            ”Kata orang-orang, ada maling yang sedang berkeliaran, Bu” ulangnya lebih keras.
            Sang istri tetap bungkam. Itu kemungkinan kedua. Sejak fungsi pendengarannya menurun, sejak itu pula bibirnya terkunci sedemikian rapat. Mendadak ia tak banyak cakap. Merubah diri menjadi pecinta sunyi. Terlanjur menikmati kealpaan bunyi. Padahal secara fisik istrinya baik-baik saja. Lebih dari baik-baik saja untuk ukuran usianya. Mengangkat seember penuh air, ia mampu. Menebas ranting pohon pun masih dilakukannya dengan kekuatan mencengangkan.
            Berteman dengan sunyi. Mungkin ini cara istrinya menghimpun energi. Seolah mengucap sepatah kata bisa membuatnya kolaps tak sadarkan diri.
            Berselang beberapa detik, kakek tua menemukan perbedaan yang tak biasa. Mata sang istri membulat. Alisnya terangkat tinggi, menegaskan jumlah kerutan di dahi. Kepalanya bergerak gelisah sementara kulit pipinya yang mengendur berayun-ayun. Tapi itu hanya sekejap saja. Sang istri kembali asyik dengan makan-malam-setengah-jadi. Sementara kakek tua beringsut ke luar rumah. Hendak melambai pamit pada senja. Lupa pada tanya sesaat yang tadi menghampirinya.

***

            Sehari sebelum kakek tua membawa berita pada istrinya, sebuah rumah di kampung itu kemalingan. Tak banyak yang diambil. Karena memang tak banyak yang bisa diambil. Hampir seluruh penduduk kampung termasuk orang susah. Harta tak seberapa. Jadi sungguh terlalu bila masih ada orang yang menghimpit mereka. Barangkali si pencuri jauh lebih melarat dan menderita, terka sebagian orang. Lantas mengapa tak mencuri dari orang kaya, sungut sebagian lainnya.
            Tindak sang pencuri makin menjadi. Resah melanda seluruh warga, kecuali kakek tua. Ia tenang-tenang saja. Tak ada prasangka. Ia adalah orang termiskin dari orang miskin di sekitarnya. Khawatir akan rumahnya bakal disantroni tuan pencuri jelas termasuk pekerjaan sia-sia.
            Namun kenyataan yang berbeda terlihat pada sang istri. Demi mendengar kata ’pencuri’, istrinya akan melonjak-lonjak kesetanan. Matanya menatap sekeliling dengan awas, menelusuri tiap sudut rumah. Ditutupnya jendela dan pintu dengan tergesa. Rapat. Tak ada celah sesempit apa pun yang memungkinkan seekor tikus untuk masuk tanpa izin.
            ”Kita harus hati-hati, Pak...” bisik sang istri di suatu malam, ”jangan sampai kecolongan oleh maling itu.”
            Kakek tua terperanjat. Sebuah kalimat panjang, yang dinanti bertahun-tahun, diucapkan oleh istrinya. Dan kalimat yang meluncur keluar adalah kalimat gila.
            ”Bu...”
            Hanya kata itu yang mampu dilenguhkan kakek tua. Ia terlanjur terpukau oleh fakta rubuhnya tembok bisu sang istri.
            ”Gawat kalau sampai maling sialan itu mengutil harta kita, Pak!”
            Harta?
            Harta yang mana?
            Jangankan sebongkah kecil emas, sekerat roti pun tiada. Jadi harta apa yang disebut-sebut istrinya? Apa Karun begitu teledor meninggalkan kekayaannya di halaman rumah mereka?
            Sang istri menepuk pelan saku dasternya yang lusuh dan berbau apek.
            ”Bapak tenang saja. Biar saya yang menjaga harta kita.”
            Mungkin kakek tua memang tak perlu meributkan tentang kemalingan. Jelas ada hal mendesak lain yang harus dikhawatirkan.
            Istrinya sudah edan.

***

            Rumah kakek tua diobrak-abrik. Siapa sangka maling yang selama ini mereka kira tak tertarik dengan reotnya gubuk kakek tua, nyatanya sudi untuk sekedar ’mampir’. Mengacak-ngacak apa saja, sekedar mencari sesuatu yang ia anggap berharga. Kakek tua dan istrinya mendapati pemandangan mengenaskan ini saat pulang bekerja. Hari itu ada tetangga yang meminta bantuan memanen ladang. Kakek tua dan istrinya mengiyakan, mengingat persediaan makanan kosong melompong.
            Pasangan renta ini terpelongo tak percaya di ambang pintu. Selanjutnya terdengar pekik tertahan istri kakek tua. Wajahnya pias. Tubuh keringnya gemetar hebat. Bergegas ia masuk dan menyambar (tidak, bukan kotak perhiasan) daster lusuh di atas dipan. Tangannya merogoh saku dengan tak sabar.
            ”Ada...”
            Betapa mengherankan bagi kakek tua, mendengar ada kelegaan dalam nada suara istrinya.
            Berikutnya, sang istri terhuyung pelan. Kakek tua menangkap tubuh istrinya sebelum rubuh mencium tanah. Kakek tua sudah paham benar. Tubuh yang mulai mendingin dalam dekapannya. Ketiadaan hembus nafas hangat yang seharusnya terasa di tangannya. Rona yang hilang dari wajah sosok di depannya. Kakek tua pastilah paham benar. Kekasih yang bertahun-tahun menemani. Yang ia temui tiap terjaga di pagi hari. Kini telah pergi.

***

            Kakek tua terpekur di pinggir makam. Tanah yang menutupi jasad istrinya masih basah. Ditundukkan kepala dalam-dalam. Secarik kertas menguning dalam genggaman tangannya terasa hangat. Itu harta yang dimaksudkan istrinya. Ya, hanya itu. Tak ada yang lain.
            Kakek tua membuka lipatannya dengan hati-hati. Demikian rapuh. Satu sentakan tak sengaja dan kertas itu akan berubah menjadi robekan kertas hutang.

                        Aku sedang belajar menulis surat cinta
                        Bukan untuk wanita di luar sana,
                        melainkan pada kau gadis yang ku puja.
                        Dan yang akan kau temukan di dalamnya bukanlah
                        deretan kata cinta
                        Kau terlalu sering mendengarnya langsung dari bibirku
                        Aku juga tidak tertarik menunjukkan pawai bahasa rayuan
                        yang manisnya terlalu cepat meleleh dalam tenggorokanmu.
                        karena-demi Tuhan-kau lebih piawai melakukan itu dibanding aku
                        Namun aku memutuskan untuk mencipta surat ini,
                        untuk bercerita bahwa ikatan antara kita adalah campur tangan
                        masa lalu, masa kini, dan masa nanti
                        Dan aku memutuskan untuk mencipta surat ini,
                        untuk mengakui bahwa padamu aku jatuh hati

Cerita lama berputar dalam kepala kakek tua. Ia mencintai gadis pujaan dari pemuda seluruh desa. Gadis itu kelak menjadi istrinya. Terkenang sulitnya mengambil hati calon mertua. Saingannya yang terberat kala itu adalah seorang pemuda dungu. Meski dungu, pundi uangnya tak terkira. Kala berjalan ia akan terbungkuk-bungkuk, kantung celananya berat dan bergemerincing.
            Tapi sang istri memilihnya. Kakek tua terkekeh senang.
            Terang saja kau pakai jampi-jampi, teriak pemuda-dungu-saingannya. Terserah apa katamu, balasnya. Kau pemain mantra, umpat sang lawan. Dan kau pecundang, kutuknya tak mau kalah.
            Begitulah, kakek tua dan istrinya hidup bersama bertahun-tahun. Tak pernah kakek tua mengurangi cintanya. Istrinya pun senantiasa setia. Meski tiada sekalipun ia menjanjikan harta. Menghiasi telinga kekasihnya dengan giwang pun ia tak kuasa. Hanya pernah dilayangkan sepucuk surat cinta. Ia tidak seperti cerita seseorang-entah-dari-belahan-dunia-mana bernama Cinderella, yang pernah diceritakan anak perempuan ujung gang sebelah padanya. Tak pernah ia jatuh cinta pada istrinya karena sebelah sepatu teronggok di anak tangga. Namun ia memutuskan untuk meletak cinta berukir nama sang istri pada hatinya, karena keyakinan akan ikatan mereka berdua.
            Diletakkan surat cinta itu di atas makam.
            Harta yang dijaga istrinya hingga ujung nyawa.
            ”Dengan surat ini, aku melamarmu kembali.”


No comments:

Post a Comment