Saturday, April 9, 2011

TUHAN, BERI AKU WAKTU SATU JAM SAJA...

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah Negara di amerika selatan, yang terletak di kawasan terkumuh di seluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu sangat dikenal, dimulai dari kisah seorang peng...emis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil, tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat, dan belum setahun mereka di kota itu mereka kehabisan seluruh uangnya. Pada suatu pagi, mereka sadar bahwa mereka tidak tahu di mana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeser pun uang ada di kantong. Padahal, mereka sedang menggendong bayi mereka yang ber umur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi di mana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.
Saat itu angin desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin, ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami berkata, “saya Harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apa pun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur di sini.”



Setelah mencium bayinya, ia pergi dan tidak pernah kembali lagi. Tak seorang pun yang tahu pasti ke mana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju afrika selama beberapa hari berikutnya, sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya dan bila malam tidur di emperan toko. Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya yang kini sudah hampir 2 tahun dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain, kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.

Suatu pagi, ia berpesan pada anaknya agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapa pun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapa pun selama ibunya tidak di tempat.
“Dalam beberapa hari, mama akan mendapatkan cukup uang utnuk menyewa kamar kecil yang berpintu dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita.”
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka, sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya, ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari hingga di kantong sang ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita, ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi, siang itu juga ketika sang ibu sedang bekerja, sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa dan membawanya sejauh 300 kilo meter ke pusat kota

Di situ, mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisiri rambutnya, dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota. Disitu gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona dan memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengan kemewahan istana itulah, gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas dan mengendarai Mercedes benz ke mana pun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat

Pada umurnya yang ke-24, serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano yang aktif beribadah dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih bernama Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat dan serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang mengubah kehidupan wanita itu.
Pagi itu, Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto suami sitri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus karena walaupun wajahnya dilapisi bedak, tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri bayi itu. Kemudian, ia membuka lemarinya sendiri dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni.

Di dalam kotak itu, dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat peribadi. Tapi, di antara benda-bernda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan, dan bukan emas murni.

Ibunya almarhum memberinya benda itu. Ia sempat bertanya dimana yang satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu di dekat foto. Sekali lagi, ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini, tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri.

Tapi, pria dan wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat itu belum pernah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan –pertanyaannya, misalnya kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuannya kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah. Sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya bayangan seorang wanita membelai kepalanya. Dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu. Mendadak serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya, tetapi ia juga merasa berapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.

Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca Koran,”Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun”

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu serrafonna. Foto hitam putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh ngeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar, dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan—yayasan untuk untuk mendapatkan data dari seluruh panti—panti orang jompo dan badan-badan social di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah.

Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah.
Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik.
Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”.

Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerimakabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka.

Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto.
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur.

Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit,
waktunya mungkin tidak banyak lagi.”

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan.

Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi.

Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”.

Ia mulai berdoa “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”.

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai
menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan “.
Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas.

Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulansberhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain.

Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.

“Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu .”
Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan.

Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

“Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri kami sehari……Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia….Jadi mama tidak menyia-nyia kan saya”.
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya.

Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

“Mama.. ..”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan.
Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatann ya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama.

Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…”
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi,

Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..”
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.

Teman….mungkin saat ini kita sedang beruntung. Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. Mungkin kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di peraduan.
cerita ini pernah d muat di buku dgn judul yg sama


2 comments: